Kamis, 17 Juni 2010

Cinta Itu Ada

Kehidupan manusia dengan segala permasalahan yang muncul di dalamnya adalah suatu hal yang menarik. Tak heran jika seringkali menjadi bahan yang sangat menarik pula ketika dikisahkan dalam sebuah cerita. Apalagi ketika cinta menjadi bumbu utama dalam meramu karya sastra itu, cerita semakin asyik. Salah satunya pada Novel Gading-Gading Ganesha (3G) ini.

Cerita dalam novel ini berawal dari enam anak muda dari berbagai daerah di Indonesia, Slamet (Trenggalek), Poltak (Pematang Siantar), Ria (Padang), Benny (Jakarta), Gun Gun (Ciamis), dan Fuad (Surabaya), yang dipersatukan dalam sebuah persahabatan di kampus Jalan Ganesha, Institut Teknologi Bandung. Bersama-sama mereka mulai mengayunkan langkah dengan penuh idealisme dan cita-cita.

Slamet adalah putra Trenggalek pertama yang sanggup menembus ITB. Dia berangkat ke Bandung dengan kereta api klutuk, kereta api kelas paling murah dan itulah kali pertama dia naik kereta api, bercampur dengan para pedagang, buruh, ayam, pindang, dan telur asin. Kemiskinan tak menyurutkan langkahnya untuk mencapai level pendidikan tertinggi.

Poltak, mahasiswa asal Siantar yang dalam perjalanannya dari daerah asalnya ke Bandung naik bis Lintas Sumatera, berniat akan memperbaiki jalanan yang mirip kubangan kerbau sepanjang Siantar-Merak setelah lulus dari Teknik Sipil ITB.

Ria, gadis Padang jelita yang menjadi bunga kampus, rebutan dari hampir semua orang dan empat sekawan kos yang hanya berani berangan-angan itu, seorang tomboy yang ternyata hatinya sangat lembut dan rapuh. Karena begitu cantik, pandai dan serba berkecukupan, malah tak ada seorangpun yang berani mendekatinya.

Benny, seorang anak mami dari Jakarta yang sekolah ke ITB karena dipaksa kedua orang tuanya, bukan karena kemauannya sendiri. Benny adalah potret seorang anak yang sejak kecil diplot dan dijadikan projek bagi kedua orang tuanya.

Gun-gun, mahasiswa dari Ciamis yang sangat stereotipe sebagai orang Sunda yang merasa berada di comfort zone tanah kelahirannya, dan tidak berniat ke luar dari Bandung apapun yang terjadi. Walau Galunggung dan Tangkuban Perahu meletus beribu kali,Bandung tetaplah tempat berpijaknya.

Fuad asli Surabaya keturunan Arab-Madura, adalah seorang yang sangat percaya diri dan dari sononya memiliki gen keturunan ahli dagang. Sejak hari pertama penerimaan mahasiswa baru, Fuad yakin bahwa di ITB inilah dia mendapatkan muara bagi pengembangan minat politiknya. Fuad yang sangat itungan dan pelit itu kemudian tenggelam dalam eforia politik praktis dan sempat ditangkap dan dipenjara Poltabes, digebuki.

Waktu berlalu dan satu per satu mereka pun lulus. Selepas dari ITB, mereka menjalani kehidupan masing-masing, hingga akhirnya diakhiri dengan pertemuan kembali 25 tahun kemudian dengan satu kesadaran yang kembali mereka temukan. Cita-cita yang melambung tinggi serta harapan yang menggunung dari orang tua masing-masing, saudara dan masyarakat sejenak terlupakan karena kesibukan mencari materi dan survive dalam kehidupan penuh konsumersime.

Dalam pertemuan kembali setelah terpisah 25 tahun tersebut, mereka menghitung kembali bahwa sudah terlalu banyak nikmat diserap, melewati titik nol atau bahkan minus saat mereka masuk ITB, banyak waktu tersia-siakan oleh kesibukan yang self interest dan ternyata tidak banyak karya nyata dan kontribusi mereka berikan ke masyarakat dan kepada bangsa yang telah mensubsidi sekolah mereka.

Sungguh novel yang menyadarkan kita, bahwa kampus tidak hanya tempat menimba ilmu saja, tetapi juga untuk membangun karakter yang tangguh dan pantang menyerah. Suatu hal yang patut ditanamkan bagi semua orang: orang-orang di institusi yang selama ini mendikte kreativitas mahasiswa; mahasiswa yang selama ini selalu apatis; serta orang tua yang sesuka hati memaksakan kehendak.

Walau demikian, tampaknya penulis terlalu memaksakan deskripsi dengan cerita-cerita yang kurang nyambung. Bahkan ada penggalan cerita yang mungkin tidak terlalu penting dimasukkan dalam novel ini. Selain itu, alur bolak-balik yang kurang konsisten mungkin bakal membuat pembaca pemula agak kebingungan. Tapi kesalahan-kesalahan kecil ini tidak merusak pesan moral yang sungguh luar biasa. Terlebih setelah mengetahui bahwa di tempat kuliahnya kaum intelek (ITB, red) ternyata cinta itu ada.***

Indra Purnama
Aktif di Forum Lingkar Pena Wilayah Riau
prnm_indra@yahoo.com





Tidak ada komentar:

Posting Komentar